Uang Jajan
Aku memang bukan berasal dari keluarga yang kaya. Keluarga kami
berkecukupan dan hidup sederhana.Tapi aku merasa senang dengan apa yang aku
miliki.
Suatu hari sekolahku akan mengadakan pembelajaran ke luar kota.
Kegiatan itu merupakan tradisi di sekolahku yang sudah lama aku nantikan. Biasanya
yang ikut berpartisipasi adalah anak-anak orang kaya karena biayanya yang cukup
mahal.
Aku meminta ijin kepada orang tuaku agar diperbolehkan ikut.
“Ibu, Ayah. Apa boleh aku ikut kegiatan sekolah ke luar kota? Aku
sudah lama ingin ikut semenjak aku masuk ke sekolah ini.” Kataku berharap.
“Boleh saja. Asalkan kamu belajar yang rajin. Ini juga merupakan
kesempatan yang bagus untuk menambah pengetahuan.” Kata Ayah.
“Benarkah? Terima kasih, Yah. Aku berjanji akan giat belajar.”
Kataku senang.
Dan aku pun mendaftar dan mengikuti tesnya. Gelisah menyelimutiku
dan teman dekatku yang juga mengikuti tesnya. Ada keraguan dalam diriku bahwa
aku akan lolos. Tapi, jika aku benar-benar menginginkannya, aku harus berusaha.
Hasil tes pun keluar dan... aku lolos! Betapa senang hati ini.
Tetapi temanku tidak lolos. Aku pun merasa kasihan dengannya. Aku benar-benar
merasa tidak enak. Tapi dia bilang tak apa. Aku tahu dia berusaha tetap tegar.
Kegiatannya berlangsung lima bulan lagi. Tetapi kakekku tiba-tiba
jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit selama sebulan dan karenanya,
ayahku harus mengeluarkan biaya yang cukup banyak untuk pengobatan kakek. Aku
merasa tidak enak kepada ayah yang sudah mengeluarkan banyak uang untuk kakek.
Belum lagi untuk biaya kegiatan sekolahku.
Akhirnya, aku berkata kepada ayah, “Ayah, aku tak apa meskipun tidak
jadi ikut kegiatan sekolah. Uangnya untuk berobat kakek saja.”
“Kamu tidak boleh seperti itu, Ana. Kamu ikut saja, tak apa. Masalah
biaya biar ayah yang urus.” Kata ayah.
“Ya sudah, Yah. Terima kasih ya. Aku akan berusaha.”
Hari itu pun tiba. Hari yang kunanti-nantikan. Pergi ke luar kota dengan
membawa nama sekolah. Semua sudah siap.
“Ini uang untuk keperluan disana, Ana.” Kata ibu.
“Terima kasih, Bu. Tapi apa ini tidak terlalu banyak?” balasku.
Ibu menjawab, “Tidak apa-apa, Ana. Kamu bawa saja. Asal jangan
dihabiskan semua. Uang ini juga untuk biayamu sekolah.”
“Siap, Bu. Akan aku usahakan untuk menggunakannya seminimal mungkin.”
Jawabku dengan semangat.
Aku pun berangkat. Satu minggu tidak pulang ke rumah. Memikirkannya saja
sudah membuatku merindukan kedua orangtuaku. Tapi, aku yakin hal ini pasti
menyenangkan untuk dijalani.
Disana, teman-temanku yang kaya dan membawa uang jajan banyak pada
berbelanja barang-barang bagus yang mahal. Aku berusaha menahan diri untuk
tidak membeli barang-barang terlalu banyak.
Akan tetapi, di hari terakhir saat akan pulang, uangku menipis. Entah
apa saja yang aku beli sehingga menghabiskan lebih dari separuh uang jajanku.
Ibu pasti marah, karena sisa uangku tinggal sedikit. Bagaimanapun juga, aku
harus bertanggungjawab atas uang yang telah aku habiskan.
Saat bersama teman-teman di hari terakhir, mereka semua membicarakan
tentang uang mereka.
“Berapa sisa uang kalian?” Tanya Tiara.
“Sudah hampir habis. Aku memang tidak membawa uang banyak.” Jawab Nuno.
“Bagaimana dengamu Ana?” tanyanya padaku.
“Uangku masih sisa cukup banyak. Aku berusaha untuk tidak
menghabiskannya, meskipun sisanya kurang dari separuh uang jajanku.” Jawabku.
“Untuk apa disisakan? Kan saying. Toh orangtua kita juga memberi kita
uang untuk kita membeli barang di sini.” Ujar Nirina.
“Kau tidak boleh seperti itu. Jika kita menyisakan sebagian uang kita
untuk ditabung, itu akan lebih berguna di kemudian hari.” Kataku.
“Tapi, papaku malah menyuruhku untuk menghabiskannya. Kalau kurang,
tinggal minta saja.” Kata Tiara.
“Tentu saja. Ayahmu kan kaya raya.” Kataku dalam hati.
“Tapi tetap saja, kau tidak boleh merepotkan orangtuamu.” Ujar Nuno.
“Iya, Pak Guru.” Kata Tiara bercanda.
Aku senang karena paling tidak, dibanding teman-temanku, sisa uangku
yang paling banyak.
Ketika sampai di rumah, aku meminta ma’af kepada ibuku karena hampir
menghabiskan uangku. Tapi, ibu tidak marah. Dia hanya menasehatiku agar lebih
berhati-hati dalam mengatur pengeluaran uang.
“Tapi aku tetap salah, Bu. Sebagai gantinya, aku tidak akan meminta uang
jajan untuk bulan ini.” Kataku.
“Tidak usah, Ana. Tak apa. Yang penting kamu bisa mengatur lebih baik
lagi.” Ujar ibu.
“Tidak apa, Bu. Aku masih punya sisa tabungan uang jajanku bulan lalu.
Biar ini jadi pelajaran untukku, Bu.” Ujarku.
“Baiklah, Nak. Kamu memang anak yang baik. Ibu senang sekali punya anak
yang membanggakan seperti kamu.” Kata ibu tersenyum.
By : Devana Avivah
No comments:
Post a Comment